Perang Kemerdekaan Indonesia Dan Vietnam Merupakan Contoh Dari Terjadinya
Penyerbuan Batavia
Mungkin, perang ini tidak "sepopuler" perang lain. Tetapi, penyerbuan Batavia adalah salah satu peristiwa ikonik yang terjadi di tahun 1628-1629. Perang ini dipimpin oleh Sultan Agung dari Kesultanan Mataram yang menyerang Batavia (sekarang Jakarta), pusat VOC di Nusantara pada masa itu.
Serangan pertama terjadi di Benteng Holandia pada Oktober 1628. Meski membawa 10.000 prajurit, pasukan Mataram hancur karena kurang perbekalan. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa, bahkan sebagian ditemukan tanpa kepala!
Lalu, serangan kedua dilakukan dengan membawa 14.000 prajurit. Sebagai antisipasi, mereka membangun lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun, mata-mata VOC menemukan lumbung beras ini dan menghancurkannya.
Pasukan yang lemah akibat kurang perbekalan, menjadi semakin lemah karena wabah malaria dan kolera. Tetapi, Sultan Agung berhasil mengotori Sungai Ciliwung dan membuat Jan Pieterszoon Coen meninggal akibat wabah kolera yang melanda Batavia.
Kalau perang-perang sebelumnya melibatkan sipil, Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) melibatkan elemen militer. Tujuannya untuk merebut Irian Barat, karena pihak Belanda masih menganggap wilayah ini sebagai salah satu provinsi Kerajaan Belanda. Panglima perang dalam misi ini adalah Mayor Jenderal Soeharto.
Indonesia membekali dirinya dengan berbagai macam peralatan militer, seperti helikopter, pesawat pembom, kapal penjelajah, pesawat pemburu supersonik, dan lainnya. Pertempuran dahsyat pun terjadi di Laut Aru pada 15 Januari 1962. Dalam pertempuran ini, Komodor Yos Sudarso gugur karena ditembak oleh kapal Belanda.
Konflik ini berakhir dengan Persetujuan New York pada 15 Agustus 1962. Markas Besar PBB di New York menjadi tempat perundingan antara Indonesia dan Belanda. Isi Persetujuan New York adalah Belanda akan menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada pemerintahan Indonesia.
Intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta
Salah satu penyebab umum terjadinya Perang Diponegoro adalah intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta.
Terbaginya Kerajaan Mataram Islam menjadi tiga kekuasaan (Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran), pada abad ke-18 tidak lepas dari campur tangan Belanda.
Memasuki abad ke-19, situasi di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan.
Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada atau justru melahirkan permasalahan baru di lingkungan kerajaan.
Hal ini juga terjadi di Yogyakarta, di mana konflik di keraton dimanfaatkan Belanda untuk menerapkan taktik adu domba.
Campur tangan pihak kolonial tidak hanya memicu perpecahan, tetapi juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara.
Sejak Sultan Hamengkubuwono III memegang tumpuk pemerintahan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro sangat malu dan prihatin terhadap terjadinya konflik suksesi di keraton.
Bahkan, karena sang ayah sangat sekuler dan cenderung pada budaya Barat, Pangeran Diponegoro memillih meninggalkan aktivitas di keraton dan hanya melakukan audiensi kepada ayahnya pada hari-hari besar.
Baca juga: Siapa Saja Tokoh yang Membantu Perang Diponegoro?
Kita patut bersyukur dengan kondisi kemerdekaan Indonesia saat ini. Keadaan yang aman dan layak ditinggali seperti sekarang adalah buah kerja keras pejuang di masa lalu ketika berperang untuk kemerdekaan Indonesia. Dengan dedikasi penuh, para pejuang rela mengorbankan waktu, tenaga, harta, atau bahkan nyawa demi mempertahankan negara ini.
Tanpa memandang perbedaan suku, ras, dan agama, semua kompak bahu-membahu mengangkat senjata di medan perang. Dari sekian banyak perang yang pernah terjadi di Indonesia, berikut ini 7 perang kemerdekaan Indonesia terbesar yang terjadi. Baca sampai habis, yuk!
Baca Juga: Siti Oetari, Istri Pertama Soekarno Sebelum Jadi Presiden RI
Serangan 10 November 1945
Serangan 10 November 1945 atau yang juga dikenal sebagai Pertempuran Surabaya adalah pertempuran dramatis yang akan selalu dikenang. Peristiwa ini didahului oleh insiden perobekan bendera merah putih biru di Hotel Yamato pada 18 September 1945 dan disusul dengan bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris. Puncaknya adalah tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur, pada 30 Oktober 1945.
Akibat kematian Mallaby, pihak Inggris mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 agar pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan. Tentu saja, rakyat Surabaya menolak untuk tunduk. Dengan semboyan "merdeka atau mati", rakyat Surabaya terus melawan. Pertempuran berdarah ini menyebabkan 6.000-16.000 pejuang gugur dan 200.000 rakyat sipil mengungsi.
Keberanian arek-arek Suroboyo juga dipengaruhi oleh Bung Tomo yang terus mengobarkan semangat lewat pidatonya yang berapi-api. Tokoh lain yang tak kalah berpengaruh ialah KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah, dan kyai-kyai pesantren lain. Berkat peristiwa ikonik ini, tanggal 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Nah, itulah 7 perang kemerdekaan terbesar untuk merebut kemerdekaan yang pernah terjadi di Indonesia. Semoga bisa menambah semangat patriotisme dan menumbuhkan nasionalisme pada kita, ya!
Baca Juga: Indonesia Harus Rukun, Ini Efek Bertengkar Online ke Kesehatan Mental
KOMPAS.com - Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi sejak 1945 hingga 1949, yang menjadi puncak perjuangan bangsa Indonesia.
Meskipun sudah resmi merdeka sejak 17 Agustus 1945, masih banyak pihak yang belum bisa menerima kemerdekaan Indonesia, termasuk Belanda dan Sekutu.
Akibatnya, pertempuran pun terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan yang memakan korban mencapai ribuan jiwa.
Baca juga: Dampak Negatif Konferensi Meja Bundar
Latar belakang terjadinya perang kemerdekaan Indonesia adalah keinginan Belanda dan Sekutu untuk kembali menguasai Nusantara.
Satu bulan setelah Indonesia dinyatakan merdeka, tepatnya tanggal 29 September 1945, Sekutu datang.
Sekutu yang dalam hal ini adalah Inggris, sudah membentuk satuan komando bernama SEAC mengirim pasukan mata-mata untuk melihat kondisi di Indonesia setelah kependudukan Jepang pada 1942 silam.
Rupanya, saat itu, Sekutu datang dengan diboncengi oleh NICA (Nederlands Indies Civil Adminstration), yaitu pemerintahan sipil Belanda yang bertujuan untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Inggris yang ditugaskan ke Indonesia ternyata diam-dian sudah mengadakan perjanjian rahasia bersama Belanda yang disebut Civil Affair Agreement pada 24 Agustus 1945 silam.
Isi Civil Affair Agreement adalah tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda.
Sekutu mendarat pertama kali di Tanjung Priok, yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Awalnya, kedatangan Sekutu di Indonesia disambut dengan baik.
Namun, setelah mengetahui bahwa Sekutu datang dengan diboncengi NICA yang secara gamblang ingin kembali menegakkan kekuasaan di Indonesia, maka reaksi pihak Indonesia terhadap Sekutu berubah.
Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya pertempuran di berbagai daerah di Indonesia.
Suasana sekitar saat Pertempuran Ambarawa terjadi
Baca juga: Kronologi Pertempuran Surabaya
Pertempuran Ambarawa terjadi pada 20 Oktober 1945, ketika Sekutu yang dipimpin oleh Brigjen Bethel mendarat di Semarang.
Setelah itu, pasukan Sekutu yang sedang berjalan menuju ke Magelang pun membuat kerusuhan.
Awalnya, Bethel diperkenankan untuk melucuti senjata pasukan Jepang.
Dia juga diizinkan mengevakuasi 19.000 interniran Sekutu yang ada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang.
Akan tetapi, ternyata pasukan Sekutu membelot dengan mempersenjatai para tawanan Jepang.
Pada 26 Oktober 1945, insiden pun pecah di Magelang, yang kemudian berlanjut antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris.
Orange Hotel di Surabaya, lokasi perobekan bendera Belanda ketika Pertempuran Surabaya.
Puncak pertempuran terjadi pada 20 November 1945, di Ambarawa antara pasukan TKR yang dipimin Mayor Sumarto dengan pasukan Inggris.
Aksi tembak-menembak dan pengeboman terus terjadi selama berhari-hari.
Kendati begitu, pada akhirnya pasukan TKR berhasil meluluhlantakkan pasukan Inggris pada 12 Desember 1945.
Pada akhirnya, pasukan Inggris yang sudah sangat terdesak bersedia meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang pada 15 Desember 1945.
Baca juga: Pertempuran Ambarawa: Latar Belakang, Tokoh, Akibat, dan Akhir
Tentara Inggris tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945, di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby.
Kemudian, pada 27 Oktober 1945, tentara Inggris mulai menduduki gedung-gedung pemerintahan di Surabaya yang dijaga oleh rakyat dan para pemuda Indonesia.
Lebih lanjut, pada 29 Oktober 1945, atas permintaan Letjen Christison, Presiden Soekarno datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
KOMPAS.com - Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi sejak 1945 hingga 1949, yang menjadi puncak perjuangan bangsa Indonesia.
Meskipun sudah resmi merdeka sejak 17 Agustus 1945, masih banyak pihak yang belum bisa menerima kemerdekaan Indonesia, termasuk Belanda dan Sekutu.
Akibatnya, pertempuran pun terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan yang memakan korban mencapai ribuan jiwa.
Baca juga: Dampak Negatif Konferensi Meja Bundar
Latar belakang terjadinya perang kemerdekaan Indonesia adalah keinginan Belanda dan Sekutu untuk kembali menguasai Nusantara.
Satu bulan setelah Indonesia dinyatakan merdeka, tepatnya tanggal 29 September 1945, Sekutu datang.
Sekutu yang dalam hal ini adalah Inggris, sudah membentuk satuan komando bernama SEAC mengirim pasukan mata-mata untuk melihat kondisi di Indonesia setelah kependudukan Jepang pada 1942 silam.
Rupanya, saat itu, Sekutu datang dengan diboncengi oleh NICA (Nederlands Indies Civil Adminstration), yaitu pemerintahan sipil Belanda yang bertujuan untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Inggris yang ditugaskan ke Indonesia ternyata diam-dian sudah mengadakan perjanjian rahasia bersama Belanda yang disebut Civil Affair Agreement pada 24 Agustus 1945 silam.
Isi Civil Affair Agreement adalah tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda.
Sekutu mendarat pertama kali di Tanjung Priok, yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Awalnya, kedatangan Sekutu di Indonesia disambut dengan baik.
Namun, setelah mengetahui bahwa Sekutu datang dengan diboncengi NICA yang secara gamblang ingin kembali menegakkan kekuasaan di Indonesia, maka reaksi pihak Indonesia terhadap Sekutu berubah.
Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya pertempuran di berbagai daerah di Indonesia.
Suasana sekitar saat Pertempuran Ambarawa terjadi
Baca juga: Kronologi Pertempuran Surabaya
Pertempuran Ambarawa terjadi pada 20 Oktober 1945, ketika Sekutu yang dipimpin oleh Brigjen Bethel mendarat di Semarang.
Setelah itu, pasukan Sekutu yang sedang berjalan menuju ke Magelang pun membuat kerusuhan.
Awalnya, Bethel diperkenankan untuk melucuti senjata pasukan Jepang.
Dia juga diizinkan mengevakuasi 19.000 interniran Sekutu yang ada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang.
Akan tetapi, ternyata pasukan Sekutu membelot dengan mempersenjatai para tawanan Jepang.
Pada 26 Oktober 1945, insiden pun pecah di Magelang, yang kemudian berlanjut antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris.
Orange Hotel di Surabaya, lokasi perobekan bendera Belanda ketika Pertempuran Surabaya.
Puncak pertempuran terjadi pada 20 November 1945, di Ambarawa antara pasukan TKR yang dipimin Mayor Sumarto dengan pasukan Inggris.
Aksi tembak-menembak dan pengeboman terus terjadi selama berhari-hari.
Kendati begitu, pada akhirnya pasukan TKR berhasil meluluhlantakkan pasukan Inggris pada 12 Desember 1945.
Pada akhirnya, pasukan Inggris yang sudah sangat terdesak bersedia meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang pada 15 Desember 1945.
Baca juga: Pertempuran Ambarawa: Latar Belakang, Tokoh, Akibat, dan Akhir
Tentara Inggris tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945, di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby.
Kemudian, pada 27 Oktober 1945, tentara Inggris mulai menduduki gedung-gedung pemerintahan di Surabaya yang dijaga oleh rakyat dan para pemuda Indonesia.
Lebih lanjut, pada 29 Oktober 1945, atas permintaan Letjen Christison, Presiden Soekarno datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
Pertemuan keduanya pun menghasilkan terjadinya gencatan senjata.
Akan tetapi, pada 31 Oktober 1945, tersiar kabar tentang hilangnya Brigjen Mallaby yang ternyata tewas terbunuh.
Sebagai tindak lanjut dari kabar tersebut, pihak Inggris, Mayir Jenderal Manserg, memberikan ultimatum kepada rakyat Surabaya pada 9 November 1945.
Namun, hingga tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 pagi WIB, tidak ada seorang pun dari bangsa Indonesia yang menyerahkan diri.
Akibatnya, pertempuran pun pecah. Para pejuang Indonesia berusaha melawan Sekutu menggunakan senjata tradisional bambu runcing.
Setelah tiga pekan, pertempuran Surabaya pun mulai mereda pada 28 November 1945.
Pertempuran ini telah memakan korban jiwa dari pihak Indonesia sebanyak 20.000 orang, sedangkan dari pihak Sekutu sebanyak 1.500 orang.
Baca juga: Mohammad Toha, Tokoh Penting Peristiwa Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi tanggal 13 Oktober 1945, ketika pasukan Sekutu tiba di Kota Bandung dengan diboncengi oleh NICA.
Setibanya di Bandung, pasukan Sekutu langsung menguasai kota dengan alasan melucuti dan menawan tentara Jepang.
Kemudian, pada 27 November 1945, Sekutu mengeluarkan ultimatum agar rakyat Bandung segera meninggalkan area Bandung Utara, tetapi ultimatum itu tidak dihiraukan.
Sekutu yang mulai terdesak pun kembali mengeluarkan ultimatum kedua agar selambat-lambatnya pada 24 Maret 1946 pukul 24.00, pasukan Indonesia sudah meninggalkan Bandung sejauh 11 kilometer.
Ultimatum ini lantas mendongkrak semangat perlawanan para pejuang Indonesia.
Pasukan Indonesia membuat strategi dengan merancang operasi bernama Bumi Hangus.
Begitu penduduk meninggalkan Bandung, operasi Bumi Hangus langsung dijalankan dengan membakar bangunan rumah atau gedung di Bandung.
Prasasti yang menjadi bukti terjadinya Pertempuran Medan Area
Dalam sekejap, Kota Bandung sudah diselimuti oleh asap gelap dan pemadaman listrik.
Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh tentara Indonesia untuk menyerang Sekutu secara bergerilya.
Baca juga: Pertempuran Medan Area: Latar Belakang, Konflik, dan Dampak
Pertempuran Medan Area terjadi tanggal 13 Oktober 1945 hingga April 1946, setelah tentara Sekutu yang dipimpin oleh TED Kelly mendarat di Medan.
Kedatangan Sekutu dan NICA ini memancing kemarahan warga Indonesia.
Terlebih, ketika salah satu anggota NICA disebut merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang digunakan oleh seorang pemuda Indonesia.
Menindaklanjuti hal ini, pada 13 Oktober 1945, barisan pemuda dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bertempur melawan Sekutu dan NICA.
Inggris kemudian mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia untuk segera menyerahkan senjata kepada Sekutu, tetapi lagi-lagi ultimatum itu tidak diindahkan.
Puncak pertempuran terjadi tanggal 10 Desember 1945, di mana Sekutu dan NICA menyerang Kota Medan secara habis-habisan.
Bulan April 1946, Sekutu sudah berhasil menguasai Kota Medan.
Baca juga: Kronologi Agresi Militer Belanda I
Setelah proklamasi kemerdekaan berlangsung, Indonesia masih dihantui oleh Belanda.
Belanda terus berusaha merebut kembali kemerdekaan dengan melakukan sejumlah serangan, salah satunya Agresi Militer Belanda I.
Agresi Militer Belanda I terjadi pada tanggal 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947, yang dipimpin oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook.
Tujuan Agresi Militer Belanda I adalah membangkitkan perekonomian Belanda dengan cara menguasai kekayaan sumber daya alam Indonesia.
Target utama Belanda ialah Sumatera dan Jawa untuk menguasai sumber daya alam di sana.
Di Pulau Jawa, Belanda menyerang Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Indonesia mengirim pasukan Siliwangi untuk melawan tentara Belanda.
Salah satu strategi yang digunakan oleh pasukan Siliwangi adalah melakukan serangan gerilya pada sektor-sektor penting, seperti jalan-jalan penghubung, jalur logistik, dan pos Belanda.
Pada praktiknya, serangan gerilya pasukan Siliwangi di Jawa Barat berhasil mengalahkan usaha perkebunan yang menjadi sektor ekonomi penting bagi Belanda.
Agresi Militer Belanda I berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1947.
Baca juga: Mengapa Perjanjian Renville Merugikan Indonesia?
Belanda mengingkari perjanjian Renville dengan melancarkan serangan Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, di Yogyakarta.
Pada Minggu pagi 19 Desember 1948, Belanda mulai menyerang Kota Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota sementara Indonesia.
Belanda melakukan serangan udara mendadak yang membuat pasukan Indonesia kewalahan.
Hanya dalam waktu beberapa jam, sore hari pada tanggal yang sama, Yogyakarta sudah berhasil diambil alih oleh Belanda.
Setelah mendengar serangan mendadak tersebut, Panglima TNI Jenderal Sudirman memberikan perintah kilat melalui radio yang bertujuan untuk melawan musuh dengan cara perang rakyat semesta.
Maksudnya, para pasukan akan hijrah dengan cara long march ke wilayahnya masing-masing dan membentuk kekuatan.
Setelah kekuatan terbentuk, pertempuran dimulai antara pasukan Indonesia dan pasukan Belanda.
Agresi Militer Belanda II telah banyak memakan korban jiwa dan kerusakan besar bagi pihak Indonesia.
Saking besarnya, aksi penyerangan ini sampai terdengar ke kancah internasional, termasuk Amerika Serikat (AS).
Akibatnya, AS memutuskan untuk menghentikan bantuan dana kepada Belanda. AS dan PBB juga mendesak agar Belanda segera melakukan gencatan senjata dan menggelar perundingan damai.
Akhirnya, pada 7 Mei 1949, Agresi Militer Belanda II berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Roem-Royen.
Baca juga: Hasil Konferensi Meja Bundar yang Tidak Dapat Direalisasikan Belanda
Akhir perang kemerdekaan Indonesia adalah penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Sebelum penyerahan itu tercapai, Indonesia dan Belanda lebih dulu berunding dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus hingga 2 November 1949.
KMB dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta.
Pada akhirnya, tanggal 2 November 1949, Indonesia dan Belanda berhasil mencapai kesepakatan dengan menandatangani persetujuan KMB.
Salah satu isi KMB adalah Belanda menyerahkan kedaulatan penuh kepada RI pada Desember 1949, tepatnya tanggal 27 Desember.
Tidak hanya perbedaan yang mencolok dalam jumlah korban, tetapi juga perbedaan pendapat yang tajam tentang keabsahan Proklamasi 17 Agustus 1945 dan pendapat tentang kembalinya Belanda setelah pendudukan Jepang selama lebih dari tiga tahun. Pandangan-pandangan yang berlawanan disertai dengan gambaran-gambaran yang saling bertentangan tentang 'musuh' dan tujuan, keandalan dan metodenya, baik dalam pertempuran maupun di meja perundingan. Di samping perbedaan-perbedaan tadi, tentu ada juga contoh saling pengertian, rasa sesal, dan keinginan untuk rekonsiliasi, baik selama perang dan, terlebih lagi, setelah perang berakhir. Tetapi, bingkai perselisihan (yang dibangun di atas sejarah panjang kolonialisme) masih hidup sampai sekarang.
Arsip dan perpustakaan adalah habitat tradisional para sejarawan. Akan tetapi, penelitian sejarah modern semestinya juga merangkul sumber-sumber yang berada dalam jenis koleksi dan lingkungan yang lain. Selain itu, sumber-sumber baru kini bisa diperoleh melalui sejarah lisan. Bijzondere Collecties Perpustakaan Universitas Leiden memiliki banyak koleksi sumber unik yang berhubungan dengan kolonialisme Belanda, yang dikumpulkan oleh KITLV. Pameran ini menampilkan materi pilihan yang menggambarkan tahun-tahun Perang Kemerdekaan di Indonesia, yaitu tahun 1945-1949. Sumber-sumber yang tersimpan di Koleksi Khusus Perpustakaan Universitas Leiden tersebut tidak hanya dapat menjelaskan perang yang pernah berlangsung, tetapi juga menunjukkan betapa berbedanya cara pandang masyarakat saat itu. Oleh karena itu, pameran sederhana ini juga merupakan ajakan kepada semua pihak untuk merenungkan kembali bingkai pemahaman masing-masing atas peristiwa sejarah ini.
KOMPAS.com - Perang Diponegoro adalah serangkaian pertempuran antara Pangeran Diponegoro melawan Belanda, yang berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830.
Pangeran Diponegoro merupakan putra Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811).
Bermula di Yogyakarta, tempat terjadinya Perang Diponegoro meluas hingga ke banyak daerah di Jawa.
Oleh sebab itu, perlawanan Pangeran Diponegoro juga kerap disebut sebagai Perang Jawa.
Apa sebab umum dan sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro?
Baca juga: Perang Diponegoro: Penyebab, Strategi, dan Dampaknya
Penderitaan rakyat akibat penjajahan
Dominasi Belanda di Yogyakarta membuat rakyat menderita karena dijadikan sebagai objek pemerasan.
Pada waktu itu, pemerintah kerajaan mengizinkan perusahaan asing menyewa tanah untuk kepentingan perkebunan.
Pada umumnya, tanah ini disewa dengan penduduknya sekaligus. Alhasil, para petani tidak dapat mengembangkan hidupnya karena harus menjadi tenaga kerja paksa.
Beban mereka pun semakin berat karena diwajibkan untuk membayar berbagai macam pajak, seperti pajak tanah, pajak halaman pekarangan, pajak jumlah pintu, pajak ternak, pajak pindah nama, dan pajak menyewa tanah atau menerima jabatan.
Di samping itu, masih ada pajak yang ditarik di tempat pabean atau tol, di mana semua lalu lintas pengangkutan barang juga dikenai pajak.
Bahkan seorang ibu yang menggendong anak di jalan umum juga harus membayar pajak.
Melihat penderitaan rakyat akibat kekejaman Belanda, Pangeran Diponegoro semakin mantab untuk melakukan perlawanan.
Baca juga: Mengapa Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro Sangat Terkenal?
Perang Gerilya Jenderal Soedirman
Perang gerilya dipimpin oleh Jenderal Besar Raden Soedirman, perwira tinggi kelahiran 24 Januari 1916. Strategi perang ini merupakan respons atas Agresi Militer Belanda II. Dalam kondisi lemah akibat penyakit TBC, Soedirman tak gentar untuk terus bergerilya melawan penjajah. Bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mereka berjalan jauh melewati hutan, gunung, sungai, dan lembah.
Puncak perang ini terjadi pada pagi hari di tanggal 1 Maret 1949. Serangan besar-besaran ini dilakukan di seluruh wilayah Indonesia dengan fokus utama di Yogyakarta, ibu kota Indonesia pada masa itu. Dalam waktu 6 jam, Kota Yogyakarta berhasil dikuasai oleh pasukan Indonesia dan peristiwa ini dikenang sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949.
Sedihnya, setelah peristiwa tersebut, Soedirman masih harus berjuang untuk melawan TBC. Ia dirawat berpindah-pindah, dari Panti Rapih, sanatorium di dekat Pakem, hingga pindah ke Magelang di bulan Desember 1949. Soedirman mengembuskan napas terakhirnya di Magelang pada 29 Januari 1950 pukul 18:30 pada usia yang relatif muda, yakni 34 tahun. Selamat jalan, pahlawan!
Baca Juga: Biografi Inggit Garnasih, Wanita Tangguh di Balik Sosok Soekarno
Perang dahsyat juga pernah terjadi di Bali yang dikenal dengan Puputan Margarana, tepatnya pada 20 November 1946. Sang pemimpin perang adalah Kolonel I Gusti Ngurah Rai dan dilakukan untuk mempertahankan desa Marga dari serangan NICA. Masyarakat Bali berprinsip untuk terus melawan, pantang bagi mereka untuk mundur dan menyerah.
Karena prinsip ini, sebanyak 96 orang gugur, termasuk I Gusti Ngurah Rai. Sementara, di pihak Belanda kehilangan 400 orang akibat Puputan Margarana, lebih banyak dari pihak masyarakat Bali. Padahal, Belanda sudah mendatangkan seluruh pasukannya yang berada di Bali plus pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar.
Baca Juga: Biografi Fatmawati, Istri Soekarno yang Ogah Dimadu dan Ibu Megawati
Penobatan Pangeran Menol
Pada 16 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwono IV meninggal secara mendadak di usia 18 tahun.
Residen Yogyakarta, Baron de Salis, pada awalnya meminta Pangeran Diponegoro untuk menggantikan, tetapi ia menolak.
Pangeran Diponegoro juga menolak kalau Belanda menunjuk Pangeran Menol, yang masih berusia dua tahun, naik takhta.
Ada dua alasan yang mendasari penolakan ini, yaitu karena usia dan latar belakang ibu Pangeran Menol.
Abai dengan pendapat Pangeran Diponegoro, tujuh hari setelah kematian Sultan Hamengkubuwono IV, pemerintah Hindia Belanda menobatkan Pangeran Menol sebagai sultan.
Pangeran Diponegoro merasa Belanda sudah terlalu banyak mencampuri urusan keraton dan tidak dapat dibiarkan lagi.
Oleh sebab itu, Pangeran Diponegoro mulai menyusun strategi untuk melakukan perlawanan.
Baca juga: Siapakah Nama Asli Pangeran Diponegoro?
Bandung Lautan Api
Bandung Lautan Api adalah peristiwa yang ikonik dan menggetarkan. Pada 24 Maret 1946, 200 ribu penduduk Bandung membakar rumah mereka, lalu menuju ke pegunungan di selatan Bandung. Tujuannya untuk mencegah tentara sekutu dan NICA memakai Bandung sebagai markas strategis militer.
Akibat peristiwa ini, api besar berkobar dan asap hitam mengepul di udara. Strategi ini digunakan karena kekuatan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) tak sebanding dengan kekuatan sekutu dan NICA.
Tak tinggal diam, tentara Inggris pun menyerang sehingga terjadi pertempuran sengit di Desa Dayeuhkolot, Bandung. Di sini terdapat gudang amunisi milik tentara sekutu. Lalu, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) ditugaskan untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Mereka berdua gugur beserta gudang yang terbakar.
Baca Juga: Biografi Insinyur Soekarno yang Dijuluki Singa Podium Indonesia
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Perang Diponegoro dikenal dengan sebutan lain, yakni Perang Jawa. Ini adalah perang besar yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830). Sesuai namanya, perang ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, sementara di pihak musuh dipimpin oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock.
Dengan prinsip "sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati" yang artinya sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati, masyarakat Jawa berperang hingga titik darah penghabisan demi melawan Belanda. Imbas dari perang ini, sekitar 200 ribu penduduk Jawa tewas, sementara pihak Belanda kehilangan 8.000 tentara. Pasukan Jawa banyak yang gugur karena dilemahkan oleh penyakit malaria dan disentri.
Baca Juga: Mengintip 9 Linimasa Sejarah Perjalanan Rupiah, Mata Uang Indonesia
Intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta
Salah satu penyebab umum terjadinya Perang Diponegoro adalah intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta.
Terbaginya Kerajaan Mataram Islam menjadi tiga kekuasaan (Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran), pada abad ke-18 tidak lepas dari campur tangan Belanda.
Memasuki abad ke-19, situasi di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan.
Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada atau justru melahirkan permasalahan baru di lingkungan kerajaan.
Hal ini juga terjadi di Yogyakarta, di mana konflik di keraton dimanfaatkan Belanda untuk menerapkan taktik adu domba.
Campur tangan pihak kolonial tidak hanya memicu perpecahan, tetapi juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara.
Sejak Sultan Hamengkubuwono III memegang tumpuk pemerintahan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro sangat malu dan prihatin terhadap terjadinya konflik suksesi di keraton.
Bahkan, karena sang ayah sangat sekuler dan cenderung pada budaya Barat, Pangeran Diponegoro memillih meninggalkan aktivitas di keraton dan hanya melakukan audiensi kepada ayahnya pada hari-hari besar.
Baca juga: Siapa Saja Tokoh yang Membantu Perang Diponegoro?
Sebab khusus Perang Diponegoro
Sebab khusus terjadinya perlawanan Pangeran Diponegoro adalah pematokan tanah oleh Belanda di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro.
Pada tahun 1825, Belanda dengan sengaja menanam patok-patok untuk membuat jalan di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro.
Hal itulah yang membuat kemarahan Pangeran Diponegoro memuncak, dan menyatakan sikap perang terhadap Belanda.
Sebelum insiden patok tersebut, pada 1823, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert diangkat sebagai residen Yogyakarta.
Tanpa diketahui sebabnya, tokoh Belanda ini dikenal sebagai sosok yang sangat anti terhadap Pangeran Diponegoro.
Ketiadaan pemimpin yang berwibawa di lingkungan keraton membuat para pejabat Belanda, termasuk Smissaert berbuat semaunya.
Smissaert bahkan selalu duduk di kursi yang disediakan untuk sultan ketika diadakan rapat resmi.
Baca juga: Keris Kiai Nogo Siluman, Pusaka Milik Pangeran Diponegoro
Konflik pribadi antara Pangeran Diponegoro dengan Smissaert semakin tajam sesudah peristiwa saling mempermalukan di depan umum dalam sebuah pesta di kediaman residen.
Kala itu, Pangeran Diponegoro terang-terangan menentang Smissaert. Hal itulah yang membuat Smissaert bekerjasama dengan Patih Danurejo untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro dari istana Yogyakarta.
Pada suatu hari di tahun 1825, Smissaert dan Patih Danurejo memerintahkan anak buahnya untuk memasang patok dalam rangka membuat jalan baru.
Pemasangan patok ini secara sengaja melewati pekarangan milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin.
Pangeran Diponegoro memerintahkan rakyat untuk mencabuti patok-patok itu karena di tanah tersebut terletak makam leluhurnya.
Namun, Patih Danurejo memerintahkan untuk memasang kembali patok-patok itu dengan dikawal pasukan Macanan (pasukan pengawal Kepatihan).
Baca juga: Reog Bulkiyo, Warisan Prajurit Pangeran Diponegoro
Pengikut Pangeran Diponegoro kemudian merespon dengan mencabuti patok-patok yang baru saja ditanam dan menggantinya dengan tombak-tombak mereka, sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda.
Berita insiden patok ini dengan cepat menyebar ke masyarakat, dan setelah itu meletuslah Perang Diponegoro pada 20 Juli 1825.
© 2024 — Perpustakaan Amir Machmud
Didukung oleh Kementerian Dalam Negeri
KOMPAS.com - Perang Diponegoro adalah serangkaian pertempuran antara Pangeran Diponegoro melawan Belanda, yang berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830.
Pangeran Diponegoro merupakan putra Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811).
Bermula di Yogyakarta, tempat terjadinya Perang Diponegoro meluas hingga ke banyak daerah di Jawa.
Oleh sebab itu, perlawanan Pangeran Diponegoro juga kerap disebut sebagai Perang Jawa.
Apa sebab umum dan sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro?
Baca juga: Perang Diponegoro: Penyebab, Strategi, dan Dampaknya